Kamis, 16 September 2010

hakikat manusia


Al-Qur’an adalah kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. untuk segenap manusia. Di dalamnya Allah menyapa akal dan perasaan manusia, mengajarkan tauhid kepada manusia, menyucikan manusia dengan berbagai ibadah, menunjukkan manusia kepada hal-hal yang dapat membawa kebaikan serta kemaslahatan dalam kehidupan individual dan sosial manusia, membimbing manusia kepada agama yang luhur agar mewujudkan diri, mengembangkan kepribadian manusia, serta meningkatkan diri manusia ke taraf kesempurnaan insani. Sehingga, manusia dapat mewujudkan kebahagiaan di dunia dan akhirat.[1]
Al-Qur’an juga mendorong manusia untuk merenungkan perihal dirinya, keajaiban penciptaannya, serta keakuratan pembentukannya. Sebab, pengenalan manusia terhadap dirinya dapat mengantarkannya pada ma’rifatullah, sebagaimana tersirat dalam Surah at-Taariq [86] ayat 5-7.
فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ . خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ . يَخْرُجُ مِنْ بَيْنِ الصُّلْبِ وَالتَّرَائِبِ .
Maka, hendaklah manusia merenungkan, dari apa ia diciptakan. Ia diciptakan dari air yang terpancar, yang keluar dari antara tulang sulbi dan tulang dada. (Q.S. at-Taariq [86]: 5-7)
Berkaitan dengan hal ini, terdapat sebuah atsar yang menyebutkan bahwa “Barang siapa mengenal dirinya, niscaya ia mengenal Tuhan-nya.”
Di samping itu, Al-Qur’an juga memuat petunjuk mengenai manusia, sifat-sifat dan keadaan psikologisnya yang berkaitan dengan pembentukan gambaran yang benar tentang kepribadian manusia, motivasi utama yang menggerakkan perilaku manusia, serta faktor-faktor yang mendasari keselarasan dan kesempurnaan kepribadian manusia dan terwujudnya kesehatan jiwa manusia.[2]
Dalam tulisan ini, penulis akan mencoba melihat sejauh mana hakikat manusia menurut perspektif Al-Qur’an. Di awal pembahasan, penulis akan memaparkan secara sekilas definisi manusia dan asal-usul penciptaannya. Semoga tulisan sederhana ini bisa menambah inspirasi untuk memantapkan kembali eksistensi kita sebagai manusia.
Definisi Manusia
Ketika berbicara tentang manusia, Al-Qur’an menggunakan tiga istilah pokok. Pertama, menggunakan kata yang terdiri atas huruf alif, nun, dan sin, seperti kata insan, ins, naas, dan unaas. Kedua, menggunakan kata basyar. Ketiga, menggunakan kata Bani Adam dan dzurriyat Adam.[3]
Menurut M. Quraish Shihab, kata basyar terambil dari akar kata yang bermakna penampakan sesuatu dengan baik dan indah. Dari akar kata yang sama lahir kata basyarah yang berarti kulit. Al-Qur’an menggunakan kata basyar sebanyak 36 kali dalam bentuk tunggal dan sekali dalam bentuk mutsanna untuk menunjuk manusia dari sudut lahiriahnya serta persamaannya dengan manusia seluruhnya.[4] Dengan demikian, kata basyar dalam Al-Qur’an menunjuk pada dimensi material manusia yang suka makan, minum, tidur, dan jalan-jalan.[5] Dari makna ini lantas lahir makna-makna lain yang lebih memperkaya definisi manusia. Dari akar kata basyar lahir makna bahwa proses penciptaan manusia terjadi secara bertahap sehingga mencapai tahap kedewasaan.[6]
Allah swt. berfirman:
َ وَمِنْ آَيَاتِهِ أَنْ خَلَقَكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ إِذَا أَنْتُمْ بَشَرٌ تَنْتَشِرُونَ
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak. (Q.S. ar-Rum [30]: 20)
Selain itu, kata basyar juga dikaitkan dengan kedewasaan manusia yang menjadikannya mampu memikul tanggung jawab. Akibat kemampuan mengemban tanggung jawab inilah, maka pantas tugas kekhalifahan dibebankan kepada manusia.[7] Hal ini sebagaimana firman Allah berikut ini.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29):
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ .
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi.” Mereka berkata, “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” (Q.S. al-Baqarah [2]: 30)
Sementara itu, kata insan terambil dari kata ins yang berarti jinak, harmonis, dan tampak.[8] Musa Asy’arie menambahkan bahwa kata insan berasal dari tiga kata: anasa yang berarti melihat, meminta izin, dan mengetahui; nasiya yang berarti lupa; dan al-uns yang berarti jinak.[9] Menurut M. Quraish Shihab, makna jinak, harmonis, dan tampak lebih tepat daripada pendapat yang mengatakan bahwa kata insan terambil dari kata nasiya (lupa) dan kata naasa-yanuusu (berguncang).[10] Dalam Al-Qur’an, kata insaan disebut sebanyak 65 kali.[11] Kata insaan digunakan Al-Qur’an untuk menunjuk kepada manusia dengan seluruh totalitasnya, jiwa dan raga.[12] Bahkan, lebih jauh Bintusy Syathi’ menegaskan bahwa makna kata insaan inilah yang membawa manusia sampai pada derajat yang membuatnya pantas menjadi khalifah di muka bumi, menerima beban takliif dan amanat kekuasaan.[13]
Dua kata ini, yakni basyar dan insaan, sudah cukup menggambarkan hakikat manusia dalam Al-Qur’an. Dari dua kata ini, kami menyimpulkan bahwa definisi manusia adalah makhluk Allah yang paling sempurna, yang diciptakan secara bertahap, yang terdiri atas dimensi jiwa dan raga, jasmani dan rohani, sehingga memungkinkannya untuk menjadi wakil Allah di muka bumi (khaliifah Allah fii al-ardl).
Asal-Usul Penciptaan Manusia
Al-Qur’an telah memberikan informasi kepada kita mengenai proses penciptaan manusia melalui beberapa fase: dari tanah menjadi lumpur, menjadi tanah liat yang dibentuk, menjadi tanah kering, kemudian Allah swt. meniupkan ruh kepadanya, lalu terciptalah Adam a.s.[14] Hal ini diisyaratkan Allah dalam Surah Shaad [38] ayat 71-72.
إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ .
(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan manusia dari tanah. Maka, apabila telah Kusempurnakan kejadiannya dan Kutiupkan kepadanya ruh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu menyungkur dengan bersujud kepadanya.” (Q.S. Shaad [38]: 71-72.)
Perhatikan juga firman Allah dalam Surah al-H{ijr [15] ayat 28-29.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ صَلْصَالٍ مِنْ حَمَإٍ مَسْنُونٍ . فَإِذَا سَوَّيْتُهُ وَنَفَخْتُ فِيهِ مِنْ رُوحِي فَقَعُوا لَهُ سَاجِدِينَ .
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk. Maka, apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud.” (Q.S. al-Hijr [15]: 28-29)
Dalam Al-Qur’an, kata ruh (ar-ruh) mempunyai beberapa arti. Pengertian ruh yang disebutkan dalam ayat-ayat yang menjelaskan penciptaan Adam a.s. adalah ruh dari Allah swt. yang menjadikan manusia memiliki kecenderungan pada sifat-sifat luhur dan mengikuti kebenaran. Hal ini yang kemudian menjadikan manusia lebih unggul dibanding seluruh makhluk yang lain. Karakteristik ruh yang berasal dari Allah ini menjadikan manusia cenderung untuk mengenal Allah swt. dan beribadah kepada-Nya, memperoleh ilmu pengetahuan dan menggunakannya untuk kemakmuran bumi, serta berpegang pada nilai-nilai luhur dalam perilakunya, baik secara individual maupun sosial, yang dapat mengangkat derajatnya ke taraf kesempurnaan insaniah yang tinggi. Oleh sebab itu, manusia layak menjadi khalifah Allah swt.[15]
Ruh dan materi yang terdapat pada manusia itu tercipta dalam satu kesatuan yang saling melengkapi dan harmonis. Dari perpaduan keduanya ini terbentuklah diri manusia dan kepribadiannya. Dengan memperhatikan esensi manusia dengan sempurna dari perpaduan dua unsur tersebut, ruh dan materi, kita akan dapat memahami kepribadian manusia secara akurat.
Kemudian, dalam ayat lain juga disebutkan mengenai permulaan penciptaan manusia yang berasal dari tanah.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنْ كُنْتُمْ فِي رَيْبٍ مِنَ الْبَعْثِ فَإِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ تُرَابٍ ثُمَّ مِنْ نُطْفَةٍ ثُمَّ مِنْ عَلَقَةٍ ثُمَّ مِنْ مُضْغَةٍ مُخَلَّقَةٍ وَغَيْرِ مُخَلَّقَةٍ لِنُبَيِّنَ لَكُمْ وَنُقِرُّ فِي الْأَرْحَامِ مَا نَشَاءُ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى ثُمَّ نُخْرِجُكُمْ طِفْلًا ثُمَّ لِتَبْلُغُوا أَشُدَّكُمْ وَمِنْكُمْ مَنْ يُتَوَفَّى وَمِنْكُمْ مَنْ يُرَدُّ إِلَى أَرْذَلِ الْعُمُرِ لِكَيْلَا يَعْلَمَ مِنْ بَعْدِ عِلْمٍ شَيْئًا وَتَرَى الْأَرْضَ هَامِدَةً فَإِذَا أَنْزَلْنَا عَلَيْهَا الْمَاءَ اهْتَزَّتْ وَرَبَتْ وَأَنْبَتَتْ مِنْ كُلِّ زَوْجٍ بَهِيجٍ .
Hai manusia, jika kamu dalam keraguan tentang kebangkitan (dari kubur), maka (ketahuilah) sesungguhnya kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar kami jelaskan kepada kamu dan kami tetapkan dalam rahim, apa yang kami kehendaki sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur-angsur) kamu sampailah kepada kedewasaan, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (ada pula) di antara kamu yang dipanjangkan umurnya sampai pikun, supaya dia tidak mengetahui lagi sesuatu pun yang dahulunya telah diketahuinya. Dan, kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah kami turunkan air di atasnya, hiduplah bumi itu dan suburlah dan menumbuhkan berbagai macam tumbuh-tumbuhan yang indah. (Q.S. al-Hajj [22]: 5)
ثُمَّ جَعَلْنَاهُ نُطْفَةً فِي قَرَارٍ مَكِينٍ . ثُمَّ خَلَقْنَا النُّطْفَةَ عَلَقَةً فَخَلَقْنَا الْعَلَقَةَ مُضْغَةً فَخَلَقْنَا الْمُضْغَةَ عِظَامًا فَكَسَوْنَا الْعِظَامَ لَحْمًا ثُمَّ أَنْشَأْنَاهُ خَلْقًا آَخَرَ فَتَبَارَكَ اللَّهُ أَحْسَنُ الْخَالِقِينَ .
Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang-belulang, lalu tulang-belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka, Mahasuci-lah Allah, Pencipta yang paling baik. (Q.S. al-Mu’minuun [23]: 13-14)
Itulah di antara sekian banyak ayat Al-Qur’an yang menjelaskan tentang asal-usul penciptaan manusia. Penciptaan manusia yang bermula dari tanah ini tidak berarti bahwa manusia dicetak dengan memakai bahan tanah seperti orang membuat patung dari tanah. Akan tetapi, penciptaan manusia dari tanah tersebut bermakna simbolik, yaitu saripati yang merupakan faktor utama dalam pembentukan jasad manusia. Penegasan Al-Qur’an yang menyatakan bahwa manusia diciptakan dari tanah ini merujuk pada pengertian jasadnya. Oleh karena itu, Al-Qur’an menyatakan bahwa kelak ketika ajal kematian manusia telah sampai, maka jasad itu akan kembali pula ke asalnya, yaitu tanah.[16]
Secara komprehensif, Umar Shihab memaparkan bahwa proses penciptaan manusia terbagi ke dalam beberapa fase kehidupan sebagai berikut.[17] Pertama, fase awal kehidupan manusia yang berupa tanah. Manusia berasal dari tanah disebabkan oleh dua hal: (1) manusia adalah keturunan Nabi Adam a.s. yang diciptakan dari tanah; (2) sperma atau ovum yang menjadi cikal bakal manusia bersumber dari saripati makanan yang berasal dari tanah. Kedua, saripati makanan yang berasal dari tanah tersebut menjadi sperma atau ovum, yang disebut oleh Al-Qur’an dengan istilah nutfah. Ketiga, kemudian sperma dan ovum tersebut menyatu dan menetap di rahim sehingga berubah menjadi embrio (‘alaqah). Keempat, proses selanjutnya, embrio tersebut berubah menjadi segumpal daging (mudlghah). Kelima, proses ini merupakan kelanjutan dari mudlghah. Dalam hal ini, bentuk embrio sudah mengeras dan menguat sampai berubah menjadi tulang belulang (‘idzaam). Keenam, proses penciptaan manusia selanjutnya adalah menjadi daging (lahmah). Ketujuh, proses peniupan ruh. Pada fase ini, embrio sudah berubah menjadi bayi dan mulai bergerak. Kedelapan, setelah sempurna kejadiannya, akhirnya lahirlah bayi tersebut ke atas dunia.

Bab I
Pendahuluan

Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah
berbagai macam perspektif, ada yang mengatakan manusia adalah hewan rasional
(animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain
menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan
manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia
menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah
sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan
dapat gila terhadap kerja.Dan bagaimanakah hakikat manusia menurut islam?Insya
Allah kami akan membahas masalah tersebut.
Bab II
Permasalahan
1)Siapa sebenarnya manusia itu?

2)Untuk apa manusia diciptakan?
3)Untuk siapa manusia hidup?
4)Apa tugas manusia di bumi?
Bab III
Pembahasan
A)Siapa sebenarnya manusia itu?

Manusia secara bahasa disebut juga insan yang dalam bahasa arabnya, yang
berasal dari kata nasiya yang berarti lupa dan jika dilihat dari kata dasar al-uns yang
berarti jinak. Kata insan dipakai untuk menyebut manusia, karena manusia memiliki
sifat lupa dan jinak artinya manusia selalu menyesuaikan diri dengan keadaan yang
baru disekitarnya. Manusia cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya
secara nyata dengan mahluk yang lain. Seperti dalam kenyataan mahluk yang
berjalan diatas dua kaki, kemampuan berfikir dan berfikir tersebut yang menentukan
manusia hakekat manusia. Manusia juga memiliki karya yang dihasilkan sehingga
berbeda dengan mahluk yang lain. Manusia dalam memiliki karya dapat dilihat dalam
seting sejarah dan seting psikologis situasi emosional an intelektual yang
melatarbelakangi karyanya. Dari karya yang dibuat manusia tersebut menjadikan ia
sebagai mahluk yang menciptakan sejarah. Manusia juga dapat dilihat dari sisi dalam
pendekatan teologis, dalam pandangan ini melengkapi dari pandangan yang
sesudahnya dengan melengkapi sisi trasendensi dikarenakan pemahaman lebih
bersifat fundamental. Pengetahuan pencipta tentang ciptaannya jauh lebih lengkap
dari pada pengetahuan ciptaan tentang dirinya.
Dan sebagaimana yang telah Allah jelaskan bahwa manusia adalah makhluk
ciptaan-Nya yang paling mulia di antara makhluk yang lain.

Berbicara tentang manusia maka yang tergambar dalam fikiran adalah
berbagai macam perfektif, ada yang mengatakan masnusia adalah hewan rasional
(animal rasional) dan pendapat ini dinyakini oleh para filosof. Sedangkan yang lain
menilai manusia sebagai animal simbolik adalah pernyatakan tersebut dikarenakan
manusia mengkomunikasikan bahasa melalui simbol-simbol dan manusia
menafsirkan simbol-simbol tersebut. Ada yang lain menilai tentang manusia adalah
sebagai homo feber dimana manusia adalah hewan yang melakukan pekerjaan dan
dapat gila terhadap kerja. Manusia memang sebagai mahluk yang aneh dikarenakan

disatu pihak ia merupakan “mahluk alami”, seperti binatang ia memerlukan alam
untuk hidup. Dipihak lain ia berhadapan dengan alam sebagai sesuatu yang asing ia
harus menyesuaikan alam sesuai dengan kebutuh-kebutuhannya. Manusia dapat
disebut sebagai homo sapiens, manusia arif memiliki akal budi dan mengungguli
mahluk yang lain. Manusai juga dikatakan sebagai homo faber hal tersebut
dikarenakan manusia tukang yang menggunakan alat-alat dan menciptakannya. Salah
satu bagian yang lain manusia juga disebut sebagai homo ludens (mahluk yang
senang bermain).

Masalah manusia adalah terpenting dari semua masalah. Peradaban hari ini
didasarkan atas humanisme, martabat manusia serta pemujaan terhadap manusia. Ada
pendapat bahwa agama telah menghancurkan kepribadian manusia serta telah
memaksa mengorbankan dirinya demi tuhan. Agama telah memaksa ketika
berhadapan dengan kehendak Tuhan maka manusia tidak berkuasa.

Manusia menurut Paulo Freire mnusia merupakan satu-satunya mahluk
yang memiliki hubungan dengan dunia. Manusia berbeda dari hewan yang tidak
memiliki sejarah, dan hidup dalam masa kini yang kekal, yang mempunyai kontak
tidak kritis dengan dunia, yang hanya berada dalam dunia.

Itulah berbagai jawaban ketika ditanya siapa manusia itu sebenarnya.
Banyak jawaban berbeda yang akan kita dapatkan.Dan terkadang bisa jadi antara
pendapat satu dengan yang lain saling bertentangan.Ada yang mengatakan bahwa
manusia dengan kekuatannya sendiri dapat melakukab segalanya.Namun di sisi lain
ada juga yang berpendapat bahwa manusia hanya mengikuti takdir yang berlaku pada
dirinya.Kedua pendapat yang bertentangan itu akan membingungkan jika tidak kita
hadapi dengan bijak.

Menurut Islam,manusia adalah makhluk ciptaan Allah yang paling mulia di
antara makhluk ciptaan-Nya yang lain yang dipercaya untuk menjadi khalifah di
muka bumi.Dengan segala usaha,kerja keras,dan do’a manusia dapat menemukan
jalan kehidupannya sendiri,kecuali pada beberapa ketetapan yang tak bisa
diubah(rezeki,mati,jodoh).
Sebagaimana firman Allah dalam Surat Ar’ad ayat 11

“…Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum
sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.Dan apabila Allah
menghendaki keburukan terhadap suatu kaum,maka tak ada yang dapat
menolaknya dan tidak ada pelindung mereka selain Dia.”
B)Tujuan manusia diciptakan
Untuk apakah manusia diciptakan Tuhan di dunia ini ?
Menurut Al-Qur’an Tuhan berfirman :
Adz-Dzaariyaat (51 ayat 56) :
“dan tidak aku jadikan jin dan manusia kecuali hanya untuk beribadah
kepada-Ku.”

Awal ibadah ialah tafakur dan berdiam diri, selain untuk mengingat
Alloh.. Sebenarnya bertafakur satu jam lamanya adalah lebih baik dari
pada beribadah selama satu tahun

Sebaik-baiknya Ibadah adalah bertafakur tentang Alloh dan kekuasaan-
Nya. Tafakur merupakan kunci untuk membuka pintu Ma’rifat dan
mempelajari Rohani yang tersembunyi.
Arti ibadah :

Ketahuilah bahwa bebas dari kesibukan lain demi tenggelamnya dalam
ibadah dapat terjadi bila memiliki waktu yang luang dan hati yang
masih kosong . dan ini merupakan salah satu hal amat penting dalam
ibadah, yang tampa hal ini kehadiran hati tidak mungkin terjadi, dan
ibadah yang dilakukan tampa kehadiran hati tidak ada nilainya.

Yang membuat hati hadir itu ada dua. Yang pertama adalah memiliki
waktu yang luang dan hati yang masih belum disibukan oleh apapun.
Sedangkan yang ke dua adalah membuat hati memahami penting ibadah,
yang dimaksud waktu luang’ adalah kita harus menyisihkan waktu kita
khusus untuk Ibadah di mana kita harus mencurahkan diri semata-mata
untuk ibadah tanpa di ganggu pemikiran atau kesibukan lain.
Berikut ini kami mencoba menjelaskan pokok persoalan ini.

Orang yang saleh tentu akan memperhatikan waktu waktu ibadahnya dalam
keadaan apapun. Tentu saja dia akan memperhatikan waktu-waktu shalat,
yang merupakan tindakan ibadah yang penting, dan melaksanakannya,
dengan sebaik-baiknya, tidak memikirkan pekerjaan lain selama waktu-
waktu itu.

Dan bila beribadah, itu dilakukan dengan tak bersungguh-sungguh atau
asal-asalan saja, karena menganggap ibadah sebagai menghalangi apa
yang dibayangkannya sebagai tugas penting.

Namun ibadah semacam itu bukan saja tidak memiliki kecemerlangan
spiritual, namun juga patut mendapat murka Alloh, dan orang seperti
itu adalah orang yang meremehkan shalat dan mengabaikannya.
Aku berlindung kapada Alloh dari meremehkan Shalat dan dari tidak
memberikan makna yang sepatutnya kepada shalat.
C)Untuk siapa manusia hidup?
Ada caranya untuk mengabdi dan beribadah kepada tuhan yang benar,
beribadah kepada tuhan dapat dibagi dalam tiga tahap :
Tahap I. Bekerjalah untukku.

Engkau harus mengerti bahwa pekerjaan apapun yang kau lakukan di dunia
ini hal itu telah terkait dengan tuhan (Alloh) karena Dia adalah
penguasa tertinggi di Dunia.
Al-Insaan (76 Ayat 30 ):
“Dan tiadalah kamu berkehendak kecuali yang di kendaki Alloh.
Sesungguhnya Alloh adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
Tahap II. Semata-mata demi aku.
Apapun yang kau kerjakan tidak kau lakukan untuk kebaikan untuk dirimu
sendiri. Siapakah engkau sebenarnya ?
Tuhan berkata : “Akulah yang bersinar dalam dirimu” kata Aku ini
timbul dari yang Esa, dari ROH itu sendiri.
“Apapun yang kau lakukan, lakukanlah bagi kepuasan-Ku, demi Aku.
Kerjakanlah semua atas nama-KU.

Bertindaklah sebagai alat-Ku, sadarlah bahwa aemua yang kau lakukan
hanyalah demi Aku. Disini kata “Milik-Ku atau “Aku” menunjukan ROH,
bukan badan Jasmani.
Tahap III. Berbaktilah Hanya Kepada-Ku

Engkau harus mengerti petunjuk ini.Bakti adalah pernyataan taqwa.Emosi yang
dinamakan taqwa memancar dari ROH.Taqwa yang sebenarnya berarti bakti, adalah
sebutan untuk ROH.

Prinsip taqwa yang memancar dari lubuk hati ini harus menjiwai setiap perbuatan,
perkataan dan pikiran.Hal ini akan terjadi bila engkau beranggapan bahwa segala
sesuatu yang kau lakukan, katakana dan pikirkan, hanya kau perbuat untuk
menyenangkan Tuhan saja. Tidur, makan dan berbagai kegiatan dalam kehidupan
sahari-hari kau lakukan karena cinta kepada Aku dan Aku timbul dari ROH.
Al-An’aam (6 ayat 162)
Katakanlah, “Sesungguhnya Shalatku, ibadahku, hidup dan matiku
(hanyalah) untuk Alloh, Tuhan semesta alam”.

Jadi,seluruh kehidupan kita ini sebenarnya hanyalah untuk Allah. Ibadah,
kerja,belajar,shalat,mati,dan semuanya hanyalah untuk Allah.Dan semua itu memang
milik Allah semata.
D)TUGAS MANUSIA DI BUMI

Manusia dipercaya Allah untuk menjadi khalifah dimuka bumi ini.Allah.Dia
pernah memberi amanat kepada bumi tapi bumi tak sanggup untuk
memikulnya,begitu juga dengan gunung.Dan akhirnya manusialah yang dipercaya
unutuk mengemban amanat itu.

Sebagai wakil Allah di bumi ini,manusia salah satu tugas manusia adalah
untuk menjaga keseimbangan kehidupan di bumi ini.Serta menjalin hubungan dengan
Allah,dengan sesama manusia,dan dengan lingkungan kehidupannya.
Wallahu ‘alam bishawab

1. Pengantar

وَلَدَتـْكَ أُمُّكَ يـَابْنَ آدَمَ بَاكِـياً * وَالنّاسُ حَوْلَكَ يَضْحَكُونَ سُرُوراً
فَاجْهَدْ لِنَفْسِكَ أنْ تَكُونَ إذا بَكَوْ ا * في يَوْمِ مَوْتِكَ ضَاحِكاً مَسْـرُوراً

Manusia dalam perspektif al-Qur’an adalah salah satu dari tiga mahluk cerdas ciptaan Allah, dimana dua yang lain adalah malaikat dan jin. Teori biologi mengatakan bahwa semakin sederhana bentuk anatomi dan organ tubuh mahluk hidup maka semakin pendek umur atau kesempatan hidupnya. Manusia adalah mahluk hidup yang paling sempurna – baik Material Substantif (jasadiyah) maupun Immaterial Potentif (ru>ch}iyah) – dalam penciptaannya , karena Allah menghendaki akan kelangsungan hidup manusia dipermukaan bumi ini lebih lama sebagai khalifah fil-ard, bahkan pada manusia ada oknom psikis yang eternal -- yaitu ruh itu sendiri – dan kehidupannya akan berlangsung sampai di akhirat nanti.
Dalam konsepsi pramodern, manusia dibagi atas tiga entitas, corpus, animus, dan spiritus . Animus berasal dari bahasa Yunani anemos yang bermakna sesuatu yang hidup (bernafas) yang ditiupkan ke dalam corpus (wadah atau bungkus). Maka corpus adalah body (raga/jasad); dan spiritus adalah spirit (ru>h}); dan animus identik dengan psyche yang bermakna soul (jiwa/nafs). Bila pernyataan ini disederhanakan lagi, maka dapat dimengerti bahwa manusia adalah mahluk yang memiliki dua dimensi, yaitu jasadiyah (biologis) dan ruchiyah (oknom-oknom psikis). Pernyataan-pernyataan al-Qur’an dalam kaitannya dengan hal ini menarik untuk dicermati guna memperoleh pemahaman yang komprehensif tentang hakikat manusia.

2. Manusia dalam Urutan Terakhir Penciptaan
Beberapa ayat al-Qur’an menyatakan bahwa manusia adalah mahluk yang berada dalam urutan terakhir dari seluruh yang diciptakan Allah dari mahluk-mahluk cerdas lainnya, tak terkecuali dengan alam (planet bumi) yang memang disinilah tempat hidup bagi manusia . Dalam filsafat tasawwuf, maka hal inilah yang menjadi epistemologi bagi Ibnu Arabi untuk melahirkan sebuah teori as-saariyah atau al-faydh (emanasi) dalam konsep wihdatul-wujud, dalam rangka menuntaskan persoalan ta‘alluq (relasi) antara al-Qadi>m (Tuhan) dan al-Haadi>ts (mahluk dan manusia) yang telah lama menjadi diskursus para teolog sebelumnya. Manusia sebagai mahluk yang terakhir diciptakan Allah, maka sudah selayaknya kalau manusia itu menjadi yang paling sempurna dan terindah, baik dalam struktur anatominya (biologis) maupun mental yang memungkinkan manusia itu menjadi mahluk yang paling kreatif dan arif.
3. Manusia Pertama
Teori evolusi yang dikemukakan oleh Charles Darwin begitu sangat terkenal dalam dunia science. Teori ini menyatakan bahwa manusia adalah suatu generasi kera yang telah mengalami evolusi. Teori ini sesungguhnya hanya merupakan suatu hipotesa yang sampai saat ini tidak terbukti sama sekali. Misalnya jika diajukan satu pertanyaan, mengapa sejak setalah dikemukakannya teori evolusi sampai sekarang tidak pernah ada kera yang berevolusi menjadi manusia?. Mengapa bangun atau struktur anatomi tangan kera tidak mengalami perubahan seperti tangan manusia?, dimana tangan manusia antara ibu jari dan empat jari yang lain saling beroposisi, sedangkan semua jari kera menghadap pada posisi yang sama. Kenapa tangan kera tidak bisa berubah strukturnya menjadi seperti tangan manusia?. Sungguh aneh, walaupun demikian banyak orang yang mempercayainya, karena Darwin telah berbaju science. Padahal, science sendiri memiliki kebenaran yang relatif, kuantitatif dan nisbi yang dulunya bisa dipercaya benar ternyata kemudian terbukti salah.
Al-Qur’an menyatakan bahwa manusia pertama diciptakan dari lumpur (t}i>n) yang diubah menjadi tanah liat kering . Dalam hadits Nabi manusia pertama ini konon diberi nama Adam dan kemudian Allah menciptakan pasangan baginya dari dirinya , pasangan Adam itu bernama Hawwa’. Dari keduanya inilah spesis manusia berkembang biak, melalui perkawinan (hubungan badan) yang mengakibatkan kehamilan dan kelahiran. Kalau lah al-Qur’an mengungkapkan dengan berbagai gaya bahasa tentang kejadian manusia setelah Adam dan Hawwa’, maka itu sesungguhnya tidak lebih agar manusia selalu menyadari akan eksistensi dirinya bahwa ia semula tercipta dari substansi yang – paling tidak menurut ukuran manusia adalah – tidak berharga, menjijikkan dan hina .
4. Manusia adalah Material Substantif dan Immaterial Potentif
a. Material Substantif
Di atas telah penulis paparkan bagaimana proses kejadian manusia dalam bentuk material substantif, sekalipun penulis tidak menyertakan paparkan tentang rahasia penciptaan dari fase ke fase yang sesungguhnya sangat menarik bila dikaji lebih mendalam (misalnya kenapa posisi jari jempol janin ketika ia mencapai usia enam bulan keatas sudah berada pada posisi menempel pada bibir?), tapi dirasa cukup untuk mengantarkan pemahaman kita bahwa manusia secara apriori adalah mahluk yang memiliki fisik seperti mahluk hidup yang lain memerlukan alam sebagai sarana untuk kelangsungan hidupnya, namun secara aposteori material substantif manusia juga memiliki potensi yang disebut dengan potensi fisik sebagai psycomotorik, melakukan aktifitas khtiar, Jihad, mebuahkan amal shaleh.
Dari sinilah kita dapat melihatlah bahwa jasad atau material substantif manusia – adalah sisi lain yang dapat digerakkan oleh kemauan immaterial potentif, berfungsi sebagai kendaraan baginya selama hidup di alam dunia -- jauh lebih sempurna dibandingkan makhluk-makhluk (binatang) lainnya. Hal inilah yang menyebabkan manusia mempunyai kemampuan yang lebih baik untuk melakukan hal-hal apapun dibandingkan makhluk lain.
b. Immaterial Potentif
Pada bagian ini penulis akan menjelaskan sisi immaterial manusia, yang sesungguhnya secara esensial manusia itu dapat dibedakan dengan mahluh hidup lainnya dan karena ini pula manusia menjadi mahluk yang bermartabat tinggi sebagai karena kepadanya alam (langit, bumi dan seisinya) ditundukkan .
b.1. Potensi Ruh dan Nafs
Dalam terminologi al-Qur'an, struktur manusia dirancang sesuai dengan tujuan penciptaan itu sendiri, dimana jiwa (soul) yang dalam istilah Al-Quran disebut nafs menjadi target pendidikan Ilahi . Istilah nafs ini, sering dikacaukan dengan apa yang dalam bahasa Indonesia disebut hawa nafsu, padahal istilah hawa dalam konteks al-Qur'an memiliki substansi (wujud) dan esensi (hakekat) tersendiri. Aspek hawa dalam diri manusia senantiasa berpasangan dengan apa yang disebut sebagai syahwat. Sedangkan apa yang dimaksud dengan an-nafs amarah bissu' dalam al-Qur’an adalah nafs (jiwa) yang belum mendapatkan pendidikan (belum dirahmati) Allah.
Nafs manusia diuji bolak-balik di antara dua kutub, kutub jasmaniah yang berpusat di jasad dan kutub ruhaniyah yang berpusat di Ruh al-Quds. Ar-Ruh ini beserta tiupan dayanya (nafakh ruh) merupakan wujud yang nisbatnya ke Martabat Ilahi dan mengikuti hukum-hukum alam Jabarut . Aspek ruh ini tetap suci dan tidak tersentuh oleh kelemahan-kelemahan material dan dosa, spektrum ruh merupakan sumber dari segala yang maujud di alam syahadah ini. Maka dari itu tidak ada istilah tazkiyatur-ruh, yang ada adalah tazkiyatun-nafs.
Jadi nafslah yang harus menjadikan jasad atau raga insan – selama hidup di dunia -- sebagai kendaraan untuk menemukan al-haq sebagai pelajaran pertamanya dan harus terus mengembara di muka bumi hingga terbuka kepadanya malakut langit, atau hakikat dari segala yang wujud (khalq) di alam syahadah, dan hakikat dari setiap khalq adalah al-haq.
b.2. Potensi Akal
Secara etimologi, menurut Ra>ghib Ashfaha>niy, akal memiliki arti al-imsak (menahan), al-riba>th (ikatan), al-hajr (menahan), al-nahy (melarang), dan al-man'u (mencegah). Berdasarkan makna bahasa ini yang disebut akal secara umum adalah potensi yang disiapkan untuk menerima ilmu pengetahuan, mampu menahan dan mengikat hawa nafsunya. Akal memiliki dua makna: Pertama, Akal jasmani, salah satu organ tubuh yang terletak di kepala, akal ini lazimnya disebut dengan otak (al-dimagh); Kedua, Akal Ruhani, yaitu cahaya nurani yang dipersiapkan oleh Allah dan berpotensi untuk memperoleh pengetahuan dan kognisi, melalui proses membaca dan berfikir.
Sehingga akal merupakan daya berpikir manusia untuk memperoleh pengetahuan yang bersifat rasional dan dapat menentukan eksistensi manusia. Dalam al-Qur’an akal tidak pernah salah apalagi disalahkan, melainkan seseorang akan disalahkan bilamana ia tidak menggunakan akalnya. Kita sering kali menganggap akal berpotensi salah, karena dalam bahasa Indonesia ada istilah akal-akalan. Dalam aktivitasnya akal memiliki berbagai potensi yang luar biasa diantaranya:
1. Dapat memahami hukum kausalitas. Bahwa Allah lah Yang menghidupkan dan mematikan .
2. Dapat memahami adanya sistem jagad raya.
3. Berfikit distinktif, kemampuan memilah-milah permasalahan dan menyusun sistematika dari fenomena yang diketahui .
4. Dapat memahami ayat kauniyah untuk mengantarkan dirinya menjadi khalifah dan memahami ayat qauliyah untuk menjadi abd
b.3. Potensi Qalb
Para ahli berbeda pendapat dalam menentukan makna qalb. Sebagian ada yang mengasumsikan sebagai materi organik, sedang sebagian yang lain menyebutnya sebagai sistem kognisi (kemauan) yang berbeda dengan emosi.
Al-Ghazali secara tegas melihat qalb dari dua aspek. Pertama, qalb jasmani dan Kedua, qalb ruhani. Qalb jasmani adalah daging sanubari yang berbentuk seperti jantung pisang yang terletak di dalam dada sebelah kiri. Sedangkan qalb ruhani adalah sesuatu yang bersifat halus, ruhaniah dan ketuhanan, memiliki potensi afektif, iman, dzikir, taqwa. Sehingga ketika qalb itu tidak memiliki potensi seperti itu, maka derajat manusia dari kemuliaannya turun menjadi binatang, bahkan lebih sesat darinya
Dalam konteks potensi manusia, qalb atau hati bukanlah asper pertama yaitu sepotong organ tubuh, melainkan aspek kedua yaitu sebuah elemen atau sistem nurani atau ruhani manusia. Secara bahasa qalb, artinya bolak-balik, dan ini menjadi karakteristik dari qalb itu sendiri, yaitu memiliki sifat tidak konsisten, yang butuh suatu pengelolaan tersendiri, dengan panduan nur ilahi.
Fungsi utama dari qalb adalah sebagai alat untuk memahami realitas dan nilai-nilai kehidupan seperti yang tersebut dalam al-Qur’an, surat al-Hajj [22]:46, .
Al-Qur'an menggunakan term qalb dan fu'a>d untuk menyebut hati manusia,ketika suasana hati itu berada dalam ketenteraman dan keyakinan. Al-Qur'an juga menggunakan kata shadr yang berarti dada atau depan untuk menyebutkan suasana hati dan jiwa sebagai satu kesatuan psikologis dalam kondisi yang lapang dan tak terbebani maupun sempit dan sedih. Tetapi Al-Qur'an juga menggunakan term qalb untuk menyebutkan akal, ketika qalb fish-shadr dalam keadaan buta tidak dapat memahami realitas dan nilai kehidupan .
Al-Ghazali berpendapat bahwa qalb memiliki potensi yang disebut an-Nur al-Ilahiy (cahaya ketuhanan) dan al-Bashirah al-Bathinah (mata batin) yang memancarkan keimanan dan keyakinan. Demikian juga al-Zamakhsyariy menegaskan bahwa qalbitu diciptakan Allah sesuai dengan fitrah asalnya dan berkecenderungan menerima kebenaran dari-Nya. Dari sisi ini qalb berperan sebagai pemandu, pengontrol, dan pengendali semua tingkah laku manusia. Dengan potensi qalb inilah manusia tidak sekedar mengenal lingkungan fisik dan sosialnya, melainkan juga mampu mengenal lingkungan spiritual, ketuhanan dan nilai kehidupan keagamaannya.
5. Beberapa Kosa Kata Al-Qur’an Yang bermakna Manusia
Beberapa kosa kata -- yang digunakan al-Qur’an untuk menyebutkan manusia secara utuh (material substantif dan immaterial potentif) – sebagai berikut:

a. Al-Insaan, al-Ins, an-Na>s
Dalam al-Qur'an, ada tiga istilah kunci yang mengacu kepada makna pokok manusia: al-basyar, al-insa>n, dan al-nas.
Pertama, kata al-insa>n, dalam al-Qur’an selalu dihubungkan dengan khilqah (penciptaan), artinya manusia selalu diingatkan oleh Allah, bagaimana Allah menciptakan dan dari apa ia diciptakan, sehingga ia menyadari dan tetap berada pada posisinya sebagai al-'abd (hamba). Dalam surat at-Ti>n , Allah menyatakan bahwa: “Sungguh Kami telah menciptakan (kata aktif) al-insa>n dengan sebaik-baik bentuk." Artinya bentuk fisik yang dilengkapi dengan modus-modus kejiwaan yang masing-masing memiliki mekanisme untuk saling berinteraksi. Kemudia Allah mengilhamkan al-Fuju>r dan at-Taqwa>, yang sesungguhnya dengan qalb nurani (hati yang bercahaya) antara keduanya dapat dibedakan, apalagi masih dibekali tuntunan (al-Qur’an) untuk mencapai hakikat. Ternyata ada al-insa>n dengan pilihannya mengutamakan al-fuju>r, tentunya yang sedemikian ini kembali pada dirinya. Karena itu pada surat al-Ma’arij: 19 -21 dinyatakan: “Sesunggunya manusia itu setelah tercipta (kata pasif) menjadi suka menyimpang, apabila ditimpa kerugian ia suka berkeluh kesah dan apabila ia ditimpa kebaikan menjadi kikir.
Begitu pula kata al-ins selalu dihubungkan dengan penciptaan dan tujuan penciptaan.
Sedangkan an-na>s (bentuk plural) juga dalam kontek yang sama, selalu diikuti seruan ibadah dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Pencipta . Kesimpulannya bahwa manusia (an-na>s) guna mempertahankan potensi-potensi positif dari dirinya memerlukan hidup berkelompok, berkoloni, berkomunitas yang untuk meencirikan keberadaannya sebagai mahluk sosial. Karenanya pepatah Arab Mengatakan Wa Ma> Summiya al-Insa>n illa> li Unsihi> (Tidaklah manusia itu dikatakan manusia (insa>>n) melainkan karena sosialnya)
Kedua, kata al-Insa>n dalam al-Qur'an dihubungkan dengan ilmu dan pengetahuan. Manusia adalah makhluk yang diberi ilmu, (Rabb) Yang telah mengajar dengan pena, mengajar insa>n apa yang tidak diketahuinya. (QS. al-'Alaq (96): 4, 5), "Ia mengajarkan (insan) al-bayan" (QS. ar-Rahman (55): 3). Manusia diberi kemampuan mengembangkan ilmu dan daya nalarnya. Karena itu juga, kata insan berkali-kali dihubungkan dengan kata nazhar.
b. Al-Basyar
Al-basyar kosa kata al-Qur’an yang juga berarti manusia. Namun dalam hal ini al-Qur’an lebih menekankan pada manusia yang menyukai hal-hal yang menggembirakan dan sekaligus memiliki kecendrungan untuk berbagi kebahagiaan . Karena kata al-basyar ( begitu pula kata al-basyir, al-mubasysyir dan al-busyra) merupakan turunan dari kata ba-sya-ra yang berarti membahagiakan.
c. Al-Ana>m
Kata al-ana>m ini, muncul dalam al-Qur’an pada saat Allah menyebut manusia bergabung dengan mahluk lainnya sebagai pengguna fasilitas bumi dan kekayaan alamnya. Allah menyetakan dalam al-Qur'an: "Dan Allah telah meletakkan (meratakan) bumi untuk makhluk (Nya) (QS. Ar-Rahman (55): 10). Wallaahu A‘alam.

0 komentar: